Selasa, 31 Desember 2013

2013: Cara-Nya Bukan Cara Kita

Halaman 365.

Lima besar yang mengiringi perjalanan ini:
 1.Tanah Subur
 2. Kehilangan
 3. Kelulusan
 4. Mimpi
 5. Panggilan dan tujuan hidup

Ini adalah halaman terakhir dari perjalananku di ‘alam’ 2013. Aku teringat pada pergantian waktu setahun yang lalu. Kala itu aku berdoa agar tahun 2013 menjadi tahun yang spesial. Dalam perjalanannya, terlalu banyak canda tawa dan air mata. Kalau melihat dari kacamata jasmani, jauh banget dari apa yang aku doakan saat pergatian tahun lalu.

  “Dunia ini boleh saja aneh namun Tuhan Yesus tidak pernah aneh, hanya unik aja cara-Nya”

Setiap kisah yang tertulis dari halaman satu ke halaman berikutnya adalah puzzle atau benang merah untuk mencapai sebuah kesatuan. Begitulah cara Tuhan menyempurnakan setiap doa kita. Kini, doa ku telah di sempurnakan (di jawab) bahwa tahun 2013 adalah tahun yang spesial.

                                                     ~****~

Dear God,
Terima kasih untuk setiap cerita yang Tuhan tuliskan dalam hidupku. Terima kasih untuk Anugrah, kasih sayang dan CintaMu yang tak pernah berubah. Terima kasih untuk mereka yang Engkau hadirkan dalam hidupku. Lewat mereka, aku belajar banyak hal. Terima kasih untuk tahun yang spesial ini. Biarlah, kehendakMu yang  terjadi di tahun 2014, karena rancanganMu indah bagiku.



                                                     ~****~

Selasa, 17 Desember 2013

Kehilangan: Meninggalkan dan Ditinggalkan

“Tak ada yang lebih menyedihkan dan (mungkin) menyakitkan dari pada kehilangan”

Visi tahun 2013 bukan saja tahun pemulihan seutuhnya, entering the next level, namun juga goncangan-goncangan. Dan aku sungguh merasakan dasyatnya goncangan-goncangan itu.

Januari 2013.
Antara rela dan tidak rela melepas kepergiaan seorang kakak rohani yang telah memberi banyak inspirasi untukku. Kepergiaannya bukan kembali ke rumah Bapa, tapi Ia pergi untuk menjalankan panggilan Tuhan dalam hidupnya. Hal paling berat, ketika ia pergi dengan meninggalkan estafetnya kepadaku, yaitu ‘keluarga kecil’ (COOL)  yang baru satu bulan terbentuk. Satu anugrah diberikan kepercayaan ini sekaligus perjalanan yang tidak mudah untuk dilalui, mengingat tak ada di benak ku sebelumnya tentang hal ini. Memimpikan saja tidak, tapi Tuhan percayakan. Hari demi hari, bulan demi bulan aku mencoba menerima ‘kepergian’ nya dengan ikhlas (meski sesungguhnya kehadirannya sangat penting) dan aku belajar untuk menjalankan sebaik-baiknya ‘mandat’ ini.


Maret 2013.
Belum rampung dengan rasa ‘kehilangan’ awal Januari, aku harus mengulang rasa yang sama. Kali ini datang dari sebuah ‘objek’ bernama TaMu. Pertemuan pertamaku dengan TaMu terjadi pada 22 September 2012 dalam acara bertajuk “KLASIK”. Sejak hari itu, aku sungguh merasakan (menemukan) kehidupan baru yang hampir hilang dari diriku. Selama enam bulan bersamanya, aku belajar hal baru, belajar mengejar ‘jati diri’ yang sesungguhnya, belajar memiliki mimpi.  Buatku, TaMu adalah setetes air di tengah kekeringan. Setetes air yang sudah mengubah jalan hidupku, Setetes air yang mengerakkan tangan Tuhan untuk membawaku menemukan ‘tanah subur’. Hanya setetes air! Kepergian TaMu ke Surga, hal yang sangat berat. Terpukul. Meski baru bersamanya selama enam bulan, rasanya tidak seperti 200 hari, lebih dari itu. Sempat ‘merasa’ putus harapan. Ketika banyak mimpi yang mulai datang dan ingin wewujudkan bersama TaMu, ia memilih pergi.

Desember 2013.
Kesibukan dalam dunia yang baru ia pijak, membuatku harus kehilangan patner ‘kerja’ yang cukup penting untuk menunjang kelancaran estafet yang sudah aku terima. Kabar ini baru saja aku terima dari seseorang. Miris dan sedih melihat kenyataan bahwa ia telah mengambil sebuah keputusan. Sangat disayangkan sebenarnya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Setiap orang berhak memperjuangkan hidupnya. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, patner ‘kerja’ ku bisa kembali dan berkumpul bersama lagi.


Seperti lagu ariel yang berkata: “tak ada yang abadi….. tak ada yang abadi…”
Kalau dipikir-pikir, memang di dunia tidak ada yang abadi. Apa yang ada sama kita sekarang, semuanya hanya sementara, termasuk hidup kita. Bahasa inggrisnya bilang: “Hidup di dunia ini cuma numpang, toh kehidupan yang sesungguhnya ada di dalam kekekalan”.

Ibarat mata uang, meninggalkan dan ditinggalkan adalah dua sisi yang tidak bisa terpisahkan. Mereka berjalan beriringan. Itulah, yang sangat aku rasakan selama 24.192 jam. Jika sampai detik ini aku masih ada sebagaimana aku ada, semua hanya kasih karunia Tuhan. Dia yang memampukan ku untuk tetap berdiri.

Tuhan itu kreatif. Dia bisa pakai cara apapun untuk mendidik, mengajari, menyatakan kuasaNya kepada kita, termasuk, tentang kehilangan ini. Aku belajar ‘ternyata’ sebuah kehilangan tidak selalu memburukkan. Buktinya apa? Jika saja kaka rohani ku tidak pergi, aku pasti tidak akan belajar arti bertanggungjawab. Jika saja TaMu tidak tinggalkan dunia ini, aku tidak akan pernah belajar arti memperjuangkan mimpi. Jika saja patner ‘kerja’ ku tidak mengambil keputusan yang sekarang, aku tidak belajar arti pemimpin itu apa. Sederhananya, sebuah kehilangan ‘hanya’ kunci kecil untuk membuka pintu besar yang sudah tersedia di depan kita. Kehilangan, membuat kita berjalan satu langkah lebih maju.


Terkadang, hidup izinkan kita kehilangan sesuatu agar menyadari kesalahan dan (atau) membangkitkan potensi terpendam yang ada di dalam diri kita”


-The end-

(Jessica)

Rabu, 11 Desember 2013

Tragedi Bintaro II: Lahirnya Tiga Serangkai

Tabrakan maut antara kereta commuter line jurusan Serpong-Tanah Abang dengan truk yang membawa 24 kiloliter bahan bakar minyak (BBM) di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013 mengudang perhatian banyak pihak, termasuk saya. Sejak peristiwa ini diberitakan, saya terus mengikuti perkembangannya meski tidak turun langsung. Hanya melalui para pencari berita yang tetap setia menuliskan berbagai informasi terkait peristiwa ini.

Tragis. Itulah kata pertama yang terucap dari bibir saya. Siapa sih yang mau kembali ke rumah Bapa dengan keadaan mencekam seperti itu? Siapa yang tau akan ada tabrakan maut? Saya percaya tidak ada satu orang pun menginginkan hal tersebut (kecuali saraf di otak sudah mulai konslet). Membayangkan saja saya sudah ngeri, apalagi dengan orang-orang yang mengalaminya langsung? Saya tak dapat pastikan bagaimana kondisi tubuh dan psikisnya.

“Kita tidak akan pernah tau apa yang akan terjadi beberapa detik ke depan”

Setiap peristiwa/ kejadian dalam hidup pasti memiliki makna dan pelajaran hidup yang sayang untuk dilupakan. Demikian dengan tabrakan maut ini, saya menenukan sebuah pelajaran yang membuat hati  tertegun, haru, sekaligus refleksi diri.

      1. Truk 24 kiloliter BBM
Jika diperhatikan lebih mendalam, hidup kita ini adalah kumpulan dari hal-hal kecil. Sayangnya, mata kita di’buta’kan dengan hal-hal besar yang menjanjikan reward lebih. Terlepas dari kelalaian sang supir yang menerobos rel kereta api, kita bisa belajar bahwa ‘hanya’ menerebos sanggup merugikan banyak orang. Artinya apa? Setiap hal kecil yang kita pandang sebelah mata ‘ternyata’ memiliki pengaruh atau dampak besar. Bagaimana dengan kehidupan kita ?

2.  Masinis, asisten masinis, dan teknisi
Bagi saya, Darman Prasetyo, masinis , Agus Suroto, asisten masinis dan Sofyan Hadi, teknisi adalah tiga serangkai ketiga di Indonesia setelah Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: E.F.E. Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo dan Ki Hajar Dewantara yang mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda dan Tiga Serangkai pelopor Republik Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir yang merupakan tiga pemimpin kunci pertama Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.

Mengapa saya menyebut tiga serangkai?
Yang pertama karena jumlahnya tiga (pasti). Kedua, mereka memiliki kesatuan visi dan misi yang tidak kalah hebat dengan tiga serangkai terdahulunya. Seperti yang diutarakan seorang penumpang selamat kepada Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan, bahwa teknisi, Sofyan Hadi meminta para penumpang di gerbong pertama untuk mundur ke belakang. Setelah memberitahu ia (Sofyan Hadi) kembali ke ruang masinis. Hal senada juga diutarakan oleh penumpang terluka Effendi (54), sebelum kecelakan itu terjadi, asisten masinis sempat memberitahunya untuk hati-hati. Dari keterangan diatas, saya dapat melihat bagaimana kesatuan visi dan misi dari ketiganya. Mereka bukan saja sekedar bekerja untuk menunjang kehidupannya, lebih dari itu, mereka mengabdi bagi banyak orang. Hal kecil yang dilakukan teknisi maupun asisten masinis, telah membuktikan ada dampak besar yang terjadi.

“Pahlawan Sejati ialah yang tidak mementingkan dirinya sendiri namun tetap berjuang sampai garis finish”

Saya yakin, mereka (tiga serangkai) tidak menginginkan hal ini terjadi dan lebih istimewanya kenaikan pangkat yang mereka terima. Pelajaran yang sangat mengesankan dan menjadi ‘cambuk’ bagi saya. Apapun profesi kita saat ini, lakukanlah dengan sebaik-baiknya serta semaksimal mungkin dan bukan semata untuk diri sendiri , (ingat) ada orang lain juga.


Selamat jalan para pemenang-pemenang hidup.

(Jessica)