Minggu, 02 Februari 2014

Bahagia Itu Sederhana (2)

Holaaaaaaaaaaaa,,,
Selamat pagi (bagi yang membaca pagi)
Selamat siang (bagi yang membaca siang)
Selamat sore (bagi yang membaca sore)
Selamat malam (bagi yang membaca malam)
Dan…
Selamat tidur (bagi yang membaca mau bobo)
Ahaha :D

Tahun 2014 baru saja memasuki bulan yang kedua, yakni Februari.  Dalam waktu yang relative muda, goncangan kehidupan sudah menyapa kita bahkan negeri ini. Sekitar tiga pekan, Ibukota Indonesia, Jakarta, kehadiran tamu yang tidak asing lagi bagi kita semua, siapakah ia ? Ya,banjir. Ibarat murid di sekolah, banjir adalah murid yang paling rajin masuk sekolah. Buku absennya selalu bersih. Presentase 100%. Banjir tidak pernah bosan ‘singgah’ di Ibukota tercinta ini.

Bagi sebagian orang banjir menjadi kesenangan tersendiri, tapi tidak untuk aku. Banjir selalu membuatku sedih. Mendengar kata ‘banjir’ saja hati sudah pilu, apalagi melihat banjir itu sendiri. Dari banyaknya episode banjir yang pernah ada dalam hidupku, ada satu episode banjir yang sangat berkesan, yang baru-baru ini terjadi. Mau tau seperti apa kisahnya ? Yuck, lanjutkan membaca J

:
Hujan semalaman beserta petir yang membuat tidur tak nyenyak berhasil melahirkan kumpulan air bernama banjir. Pagi itu aku harus berangkat ke kantor. Dengan rasa Lemes, panik, sedih, ku melangkahkan kaki untuk berangkat ke kantor. Belum ada seperempat jalan, kendaraan yang aku tumpangi tiba-tiba saja mogok. Huh! Lengkap. Seakan-akan ‘jatuh  tertimpa tangga’ pula. Sepanjang perjalanan hati memang gundah gulana, namun di sisi lain hati ini seperti ada yang bilang, “Ayo, bersyukur Jess”.
“What, bersyukur ??”
“Hellooo, ini keadaan lagi tegang-tegangnya harus ngucap syukur ??”
Dengan tenang sisi lain hati kecil itu berkata: “Bersyukur saja”

Pikiran memang buntu, cuma ada ayo cepat sampai ke tempat tujuan dan mengakhiri ‘penderitaan’ ini.  Akhirnya, aku menenangkan diri sejenak lalu berkata: “Terima kasih Tuhan untuk semua prosesnya”
(meski berat juga bilangnya). Setelah melalui rintangan-rintangan yang cukup melelahkan, akhirnya aku sampai ke  tempat tujuanku (lega). Ku tegok jam berwarna hitam di pergelangan tangan kiriku, kata jam itu: “08.10 WIB”.
Tidak percaya, aku perhatikan lebih seksama lagi…
“08.10 WIB”
Cek jam handphone…
“08.10 WIB”
Kataku:
“Sungguh, jam delapan lewat sepuluh ? Rasanya tadi panjang banget loch perjuangannya dan aku yakin membutuhkan waktu yang tidak singkat.”
“Ini lagi gak mimpi kan?”
Secara cepat pertanyaan-pertanyaan tak percaya datang dipikiranku. Senang sih, tidak telat bahkan bisa menepati  ‘janji’ku sebelum melakukan kewajibanku. Satu kalimat datang di hatiku: “Selalu ada mujizat dibalik ucapan syukur”.

Kisah banjir diatas adalah satu kasus sederhana yang aku alami. Kasus sederhana yang mengajarkanku arti bersyukur itu apa ? Ibaratnya gini, ada rumah mewah banget tapi sudah lama tidak berpenghuni, sehingga rumah itu banyak debu, dedaunan jatuh dimana-mana, pokoknya berantakan deh, gak menarik bahkan menyeramkan. Rumah mewah itu ibarat hidup kita, dan debu atau dedaunan ibarat masalah, tekanan, pergumulan, atau sesuatu yang tidak enak. Sadar atau tidak, hidup kita sesungguhnya indah (bahagia), namun saat sesuatu yang tidak enak hadir, kita jadi lupa dan lebih berfokus pada ‘debu-debu’ itu. Nah, disinilah yang membuat kita susah untuk bersyukur.

Sebagaian orang berpendapat, bahwa tidak ada untungnya bersyukur saat keadaan tidak baik (termasuk saya). Toh, tetap tidak mengubah apa-apa, masalah tetap saja ada. Kasus sederhana diatas mengubah pengertian aku tentang bersyukur. Secara alam spiritual, waktu kita bisa belajar mengucap syukur dikala tidak enak, sebenarnya ada sesuatu yang sedang Tuhan kerjakan. Seperti mempercepat agar doa-doa kita terkabul. Jam yang berkata 08.10 WIB menjadi bukti bahwa ada kuasa dalam ucapan syukur. Aku yakin, situasi banjir yang mengempung jalan dimana-mana sangat minim bisa membawaku selamat sampai tujuan.

“Bahagia itu sederhana, meskipun harus berlelah-lelahan bersama banjir, tapi sampai tujuan tanpa kehilangan jari satu pun”

Kebahagiaan itu dekaaaaaaaaaaaaaatt, sangaaatttt dekat dengan kita. Lebih dekat dari nafas kita. Sederhanannya, ketika kita mau  belajar untuk mengubah arah pandang kita, disitulah kita akan melihat hidup ini memiliki jutaan kebahagiaan yang super indah.  Bahagia itu sederhana J



(Jessica)