Rabu, 12 Agustus 2015

Si Gojek Yang Fenomenal




Gojek

Siapa sih yang kenal ?

Transportasi berbasis teknologi ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Dari mulai promonya yang banting harga, selisih paham sama ojek ‘manual’, pendapatan para driver yang fanstastis, sampai spanduk-spanduk kecaman bertebaran dimana-mana.
 

Melihat atusiasme masyarakat mengenai Gojek, saya jadi penasaran naik Gojek. Waktu pertama kali naik Gojek, saya happy banget sama pelayanananya. Proses yang tidak terlalu lama, driver yang ramah, dan pembawaan kendaraan sesuai standar yang berlaku. Gak salah deh apresiasi masyarakat sama Gojek. Sejak saat itu, saya suka naik Gojek dan bertemu driver-driver berbeda beserta cerita-ceritanya.



Yang mau saya share sama kalian :


Hadirnya teknologi membuat segalanya terasa mudah, seolah-olah tidak ada yang perlu dibatasi. Padahal tidak! Di dalam teknologi tetap ada sulitnya. Tetap ada dasar-dasar hidup di dalamnya. Sayangnya masih banyak diantara kita yang berfikir dengan kecepatan teknologi semua beres dalam hitungan 0.00000000000000000000000000000000000000000000000000000001 detik.



INSTAN sama dengan CEPAT. CEPAT bukan berarti TIDAK ADA PROSES.


Kehadiran Gojek bagi saya cukup membantu. Saya tidak perlu menunggu lebih lama dengan kemacetan dan aman. Nah, hingga suatu hari batin saya mulai bernyanyi. Lagu apakah yang batin saya nyanyikan ?


Begini kisahnya..

Menjelang berakhirnya jam kantor ..

“Pulang naik Gojek atau Kopaja yaa ?”

(Berpikir) 

“Naik Gojek aja kan lebih cepat sampai. Naik Kopaja penuh, macet, belum lagi kalau supirnya ungal-ungalan”

Beberapa saat kemudian…

“Jadi segitu arti berjuang kamu, Jess ?”

Diam.

***
 
Lahirnya Gojek sangat membuka peluang (taraf hidup lebih baik dari segi materi) bagi ribuan driver dari berbagai latar belakang juga tingkat customer yang membutuhkan kecepatan, kebenaran, dan keamanan. Gojek telah melukiskan senyuman bagi ribuan orang (yang mungkin sudah lupa caranya tersenyum).


Nyanyian batin saya membuat saya berpikir dan merenung lagi. Ternyata, teknologi bukan segalanya. Teknologi tidak pernah bisa menyulap apapun yang kamu mau (sekalipun secara kasat mata bisa). Sekali lagi batin saya berkata : “Dasar hidupmu harus kokoh. Kembali kepada makna hidup yang sebenarnya.”


Ibaratnya gini, kalau warna dinding rumah kita sudah mulai pudar atau mau ganti suasana tentu kita akan memperbaiki tampilan saja, bukan fondasinya. Dengan kata lain, perubahan itu perlu tetapi tidak mengubah standar/dasar yang berlaku.


Kehadiran Gojek untuk saya telah mengingatkan bahwa :

HIDUP tetap PERJUANGAN

HIDUP adalah BELAJAR

HIDUP itu PROSES
 

Biarlah kecanggihan teknologi tidak membuat kita lupa diri. Lupa, untuk terus belajar, berproses, dan berjuang. Apapun profesi yang kita pilih (bahkan Tuhan yang pilih) di jalankan dengan sebaik-baik dan sebenar-benarnya.


Profesi bukan tujuan. Profesi adalah alat mencapai destiny hidup

**

Secuil harapan untuk Gojek (Tolong sampaikan jika bertemu ‘pak’ Nadiem Makariem) :

Semoga visi misi Gojek tidak hilang, management Gojek meningkat. Semakin banyak memberikan ‘hidup’ untuk banyak orang. Menindaktegas bagi driver (maupun customer) yang tidak menjalankan aturan yang ada. Dengan demikian, Gojek menjadi contoh untuk pengusaha-pengusaha transportasi lainnya :)


(Jessica Natallia)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar