Gojek
Siapa sih yang kenal ?
Transportasi berbasis teknologi ini menjadi buah bibir
masyarakat Indonesia. Dari mulai promonya yang banting harga, selisih paham
sama ojek ‘manual’, pendapatan para driver yang fanstastis, sampai
spanduk-spanduk kecaman bertebaran dimana-mana.
Melihat atusiasme masyarakat mengenai Gojek, saya jadi
penasaran naik Gojek. Waktu pertama kali naik Gojek, saya happy banget sama
pelayanananya. Proses yang tidak terlalu lama, driver yang ramah, dan pembawaan
kendaraan sesuai standar yang berlaku. Gak salah deh apresiasi masyarakat sama
Gojek. Sejak saat itu, saya suka naik Gojek dan bertemu driver-driver berbeda
beserta cerita-ceritanya.
Yang mau saya share sama kalian :
Hadirnya teknologi membuat segalanya terasa mudah, seolah-olah
tidak ada yang perlu dibatasi. Padahal tidak! Di dalam teknologi tetap ada
sulitnya. Tetap ada dasar-dasar hidup di dalamnya. Sayangnya masih banyak
diantara kita yang berfikir dengan kecepatan teknologi semua beres dalam
hitungan 0.00000000000000000000000000000000000000000000000000000001 detik.
INSTAN sama dengan CEPAT. CEPAT bukan berarti TIDAK ADA PROSES.
Kehadiran Gojek bagi saya cukup membantu. Saya tidak
perlu menunggu lebih lama dengan kemacetan dan aman. Nah, hingga suatu hari
batin saya mulai bernyanyi. Lagu apakah yang batin saya nyanyikan ?
Begini kisahnya..
Menjelang berakhirnya jam kantor ..
“Pulang naik Gojek atau Kopaja yaa ?”
(Berpikir)
“Naik Gojek aja kan lebih cepat sampai. Naik Kopaja
penuh, macet, belum lagi kalau supirnya ungal-ungalan”
Beberapa saat kemudian…
“Jadi segitu arti berjuang kamu, Jess ?”
Diam.
***
Lahirnya Gojek sangat membuka peluang (taraf hidup
lebih baik dari segi materi) bagi ribuan driver dari berbagai latar belakang
juga tingkat customer yang membutuhkan kecepatan, kebenaran, dan keamanan. Gojek
telah melukiskan senyuman bagi ribuan orang (yang mungkin sudah lupa caranya
tersenyum).
Nyanyian batin saya membuat saya berpikir dan merenung
lagi. Ternyata, teknologi bukan segalanya. Teknologi tidak pernah bisa menyulap
apapun yang kamu mau (sekalipun secara kasat mata bisa). Sekali lagi batin saya
berkata : “Dasar hidupmu harus kokoh. Kembali kepada makna hidup yang
sebenarnya.”
Ibaratnya gini, kalau warna dinding rumah kita sudah
mulai pudar atau mau ganti suasana tentu kita akan memperbaiki tampilan saja,
bukan fondasinya. Dengan kata lain, perubahan itu perlu tetapi tidak mengubah
standar/dasar yang berlaku.
Kehadiran Gojek untuk saya telah mengingatkan bahwa :
HIDUP tetap PERJUANGAN
HIDUP adalah BELAJAR
HIDUP itu PROSES
Biarlah kecanggihan teknologi tidak membuat kita lupa
diri. Lupa, untuk terus belajar, berproses, dan berjuang. Apapun profesi yang
kita pilih (bahkan Tuhan yang pilih) di jalankan dengan sebaik-baik dan
sebenar-benarnya.
Profesi bukan tujuan. Profesi adalah alat mencapai destiny hidup
**
Secuil harapan untuk Gojek (Tolong sampaikan jika
bertemu ‘pak’ Nadiem Makariem) :
Semoga visi misi Gojek tidak hilang, management Gojek meningkat. Semakin banyak memberikan ‘hidup’ untuk banyak orang. Menindaktegas
bagi driver (maupun customer) yang tidak menjalankan aturan yang ada. Dengan
demikian, Gojek menjadi contoh untuk pengusaha-pengusaha transportasi lainnya :)
(Jessica Natallia)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar