Tabrakan
maut antara kereta commuter line jurusan
Serpong-Tanah Abang dengan truk yang membawa 24 kiloliter bahan bakar
minyak (BBM) di Pondok Betung, Bintaro, Jakarta Selatan, Senin 9 Desember 2013 mengudang perhatian banyak pihak,
termasuk saya. Sejak peristiwa ini diberitakan, saya terus mengikuti
perkembangannya meski tidak turun langsung. Hanya melalui para pencari berita
yang tetap setia menuliskan berbagai informasi terkait peristiwa ini.
Tragis. Itulah kata pertama yang terucap
dari bibir saya. Siapa sih yang mau kembali ke rumah Bapa dengan keadaan
mencekam seperti itu? Siapa yang tau akan ada tabrakan maut? Saya percaya tidak
ada satu orang pun menginginkan hal tersebut (kecuali saraf di otak sudah mulai
konslet). Membayangkan saja saya sudah ngeri, apalagi dengan orang-orang yang mengalaminya
langsung? Saya tak dapat pastikan bagaimana kondisi tubuh dan psikisnya.
“Kita tidak akan
pernah tau apa yang akan terjadi beberapa detik ke depan”
Setiap peristiwa/ kejadian dalam hidup pasti memiliki makna dan
pelajaran hidup yang sayang untuk dilupakan. Demikian dengan tabrakan maut ini,
saya menenukan sebuah pelajaran yang membuat hati tertegun, haru, sekaligus refleksi diri.
1. Truk 24 kiloliter BBM
Jika diperhatikan lebih mendalam, hidup kita ini adalah kumpulan
dari hal-hal kecil. Sayangnya, mata kita di’buta’kan dengan hal-hal besar yang
menjanjikan reward lebih. Terlepas dari kelalaian sang supir yang menerobos rel
kereta api, kita bisa belajar bahwa ‘hanya’ menerebos sanggup merugikan banyak
orang. Artinya apa? Setiap hal kecil yang kita pandang sebelah mata ‘ternyata’
memiliki pengaruh atau dampak besar. Bagaimana dengan kehidupan kita ?
2. Masinis, asisten masinis, dan teknisi
Bagi saya, Darman Prasetyo, masinis , Agus
Suroto, asisten masinis dan Sofyan Hadi, teknisi adalah tiga serangkai ketiga di
Indonesia setelah Tiga Serangkai pelopor nasionalisme Indonesia: E.F.E. Douwes
Dekker, Tjipto
Mangunkusumo dan Ki Hajar
Dewantara yang
mendirikan Indische Partij, partai politik pertama di Hindia Belanda dan Tiga Serangkai pelopor Republik
Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, Soetan Sjahrir yang merupakan tiga pemimpin kunci
pertama Indonesia setelah proklamasi
kemerdekaan Indonesia.
Mengapa saya menyebut tiga serangkai?
Yang pertama karena jumlahnya tiga
(pasti). Kedua, mereka memiliki kesatuan visi dan misi yang tidak kalah hebat dengan
tiga serangkai terdahulunya. Seperti yang diutarakan seorang penumpang selamat
kepada Direktur Utama PT KAI Ignatius Jonan, bahwa teknisi, Sofyan Hadi
meminta para penumpang di gerbong pertama untuk mundur ke belakang. Setelah
memberitahu ia (Sofyan Hadi) kembali ke ruang masinis. Hal senada juga
diutarakan oleh penumpang terluka Effendi (54), sebelum kecelakan itu terjadi,
asisten masinis sempat memberitahunya untuk hati-hati. Dari keterangan diatas, saya
dapat melihat bagaimana kesatuan visi dan misi dari ketiganya. Mereka bukan
saja sekedar bekerja untuk menunjang kehidupannya, lebih dari itu, mereka
mengabdi bagi banyak orang. Hal kecil yang dilakukan teknisi maupun asisten masinis,
telah membuktikan ada dampak besar yang terjadi.
“Pahlawan
Sejati ialah yang tidak mementingkan dirinya sendiri namun tetap berjuang
sampai garis finish”
Saya yakin, mereka (tiga serangkai) tidak
menginginkan hal ini terjadi dan lebih istimewanya kenaikan pangkat yang mereka
terima. Pelajaran yang sangat mengesankan dan menjadi ‘cambuk’ bagi saya.
Apapun profesi kita saat ini, lakukanlah dengan sebaik-baiknya serta semaksimal
mungkin dan bukan semata untuk diri sendiri , (ingat) ada orang lain juga.
Selamat jalan para pemenang-pemenang
hidup.
(Jessica)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar