“Tak
ada yang lebih menyedihkan dan (mungkin) menyakitkan dari pada kehilangan”
Visi tahun 2013 bukan saja tahun pemulihan seutuhnya,
entering the next level, namun juga goncangan-goncangan. Dan aku sungguh
merasakan dasyatnya goncangan-goncangan itu.
Januari 2013.
Antara rela dan tidak rela melepas kepergiaan seorang
kakak rohani yang telah memberi banyak inspirasi untukku. Kepergiaannya bukan
kembali ke rumah Bapa, tapi Ia pergi untuk menjalankan panggilan Tuhan dalam
hidupnya. Hal paling berat, ketika ia pergi dengan meninggalkan estafetnya
kepadaku, yaitu ‘keluarga kecil’ (COOL)
yang baru satu bulan terbentuk. Satu anugrah diberikan kepercayaan ini
sekaligus perjalanan yang tidak mudah untuk dilalui, mengingat tak ada di benak
ku sebelumnya tentang hal ini. Memimpikan saja tidak, tapi Tuhan percayakan. Hari
demi hari, bulan demi bulan aku mencoba menerima ‘kepergian’ nya dengan ikhlas
(meski sesungguhnya kehadirannya sangat penting) dan aku belajar untuk
menjalankan sebaik-baiknya ‘mandat’ ini.
Maret 2013.
Belum rampung dengan rasa ‘kehilangan’ awal Januari, aku harus
mengulang rasa yang sama. Kali ini datang dari sebuah ‘objek’ bernama TaMu. Pertemuan
pertamaku dengan TaMu terjadi pada 22 September 2012 dalam acara bertajuk “KLASIK”.
Sejak hari itu, aku sungguh merasakan (menemukan) kehidupan baru yang hampir
hilang dari diriku. Selama enam bulan bersamanya, aku belajar hal baru, belajar
mengejar ‘jati diri’ yang sesungguhnya, belajar memiliki mimpi. Buatku, TaMu adalah setetes air di tengah
kekeringan. Setetes air yang sudah mengubah jalan hidupku, Setetes air yang
mengerakkan tangan Tuhan untuk membawaku menemukan ‘tanah subur’. Hanya setetes
air! Kepergian TaMu ke Surga, hal yang sangat berat. Terpukul. Meski baru
bersamanya selama enam bulan, rasanya tidak seperti 200 hari, lebih dari itu.
Sempat ‘merasa’ putus harapan. Ketika banyak mimpi yang mulai datang dan ingin
wewujudkan bersama TaMu, ia memilih pergi.
Desember 2013.
Kesibukan dalam dunia yang baru ia pijak, membuatku harus
kehilangan patner ‘kerja’ yang cukup penting untuk menunjang kelancaran estafet
yang sudah aku terima. Kabar ini baru saja aku terima dari seseorang. Miris dan
sedih melihat kenyataan bahwa ia telah mengambil sebuah keputusan. Sangat
disayangkan sebenarnya, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Setiap orang berhak
memperjuangkan hidupnya. Aku hanya berharap, suatu hari nanti, patner ‘kerja’
ku bisa kembali dan berkumpul bersama lagi.
Seperti lagu ariel yang berkata: “tak ada yang abadi….. tak
ada yang abadi…”
Kalau dipikir-pikir, memang di dunia tidak ada yang
abadi. Apa yang ada sama kita sekarang, semuanya hanya sementara, termasuk
hidup kita. Bahasa inggrisnya bilang: “Hidup di dunia ini cuma numpang, toh kehidupan
yang sesungguhnya ada di dalam kekekalan”.
Ibarat mata uang, meninggalkan dan ditinggalkan adalah
dua sisi yang tidak bisa terpisahkan. Mereka berjalan beriringan. Itulah, yang
sangat aku rasakan selama 24.192 jam. Jika sampai detik ini aku masih ada
sebagaimana aku ada, semua hanya kasih karunia Tuhan. Dia yang memampukan ku
untuk tetap berdiri.
Tuhan itu kreatif. Dia bisa pakai cara apapun untuk
mendidik, mengajari, menyatakan kuasaNya kepada kita, termasuk, tentang kehilangan
ini. Aku belajar ‘ternyata’ sebuah kehilangan tidak selalu memburukkan. Buktinya
apa? Jika saja kaka rohani ku tidak pergi, aku pasti tidak akan belajar arti
bertanggungjawab. Jika saja TaMu tidak tinggalkan dunia ini, aku tidak akan
pernah belajar arti memperjuangkan mimpi. Jika saja patner ‘kerja’ ku tidak mengambil
keputusan yang sekarang, aku tidak belajar arti pemimpin itu apa. Sederhananya,
sebuah kehilangan ‘hanya’ kunci kecil untuk membuka pintu besar yang sudah
tersedia di depan kita. Kehilangan, membuat kita berjalan satu langkah lebih
maju.
“Terkadang, hidup
izinkan kita kehilangan sesuatu agar menyadari kesalahan dan (atau) membangkitkan
potensi terpendam yang ada di dalam diri kita”
-The end-
(Jessica)