Haii sahabat-sahabat terkasih, jumpa lagi dengan saya Jessica, dalam acara cuap-cuap.. :D
(Pasti saya ngangenin kan yaak?)
(Huu.. PD -__-)
(Really? awas nyesel. Huaahaa)
(Oke, skiplah)
Tidak mau mengulur waktu, mari simak yang berikut ini.
Selamat membaca :)
Sudah puluhan bahkan ribuan kali saya mendengar kalimat 'dibalik layar'. Setiap kali saya mendengar kalimat tersebut, pemahaman saya adalah suatu pekerjaan yang dilakukan dibalik layar. Ya, hanya sejauh itu. Akhir-akhir ini saya seperti dibawa masuk lebih dalam lagi tentang 'dibalik layar'. Ceritanya bermula dari ini:
Suatu hari saya mengikuti sebuah meeting dimana klien yang saya jumpai adalah penghasil barang-barang ternama (seperti shampoo, makanan, elektonik, dll). Seluruh yang hadir tampak antusias mendengarkan setiap materi yang disampaikan oleh atasan kami. Perbincangan semakin seru tak kala banyaknya pertanyaan demi pertanyaan lalu disanggah oleh peserta lain. Waoh, layaknya debat calon presiden! Tiba-tiba, di dalam hati kecil saya muncul satu kalimat, "Dibalik chiki". Saya terkejut, lalu mengeritkan dahi dan bertanya: "Ada apa dibalik chiki?".
Usai meeting hingga perjalanan pulang, saya renungkan dan mencari-cari maksudnya. Baru kali ini, saya diajak berfikir pada suatu hal yang jarang terfikirkan. Disaat sedang berfikir keras, disaat itu pula seorang pengamen yang sendari tadi bernyanyi ria di kopaja berkata:"Yaa.. kiranya bapak-ibu menghargai kami yaa..(bla..bla..bla..)". Kata MENGHARGAI, dalam waktu kurang dari satu detik seperti loncat dan masuk dalam batin saya. Kemudian saya berdialog lagi:"Menghargai? Apa hubungannya sama dibalik chiki?"
Nah... Tuhan kasih satu pengertian seperti ini:
Sebelum chiki sampai di tangan kita, chiki melewati perjalananan yang sangat panjang. Dimulai dari ia dibuat, pertama bahan-bahan yang diperlukan disatukan,diolah, dicetak, dan dikemas. Setelah dikemas, chiki di distribusikan. Ini yang menarik, ternyata chiki yang di distribusikan tidak langsung sampai. Adakalanya mengalami kerusakan atau ditolak oleh pembeli. Wihh,, bisa terbanyang kan, satu bungkus chiki saja harus melewati perjalanan yang super panjang. Disini, kita diajarkan tentang proses.
Lalu apa hubungannya proses dengan menghargai?
Saya teringat dengan kebiasaan saya kalau makan harus bersih.
Artinya tidak ada satu pun makanan ada di piring tersebut (kecuali tulang,
dkk). Ini sudah ditanamkan oleh orang tua saya sejak saya kecil. Suatu kali,
saya bertanya kepada orang tua saya: “Mengapa kalau makan piring ini harus
bersih?”. Jawaban orang tua saya sederhana: “Masih banyak orang-orang di luar
sana yang tidak bisa makan”. Saya pahami satu, bersyukur. Ternyata, apa yang
ditanamakan oleh orang tua saya artinya bukan saja bersyukur.
Berapa sering kita membuang makanan? Berapa sering ada makanan
tersisa di piring? Berapa sering?? Kita harus mengerti, setiap makanan yang
kita buang atau tersisa berarti kita kurang bahkan minim menghargai. Menghargai
siapa? Orang-orang dibalik makanan tersebut. Masih ingat dengan petani? Ya,
dengan giat para petani menanam, menyirami, merawat padi-padi hingga
menghasilkan beras bermutu dan tiba di mata kita. Bukan waktu yang sebentar
untuk menghasilkan sekarung beras. Saya mengerti sekarang, mengapa orang tua
saya sangat marah saat makanan di piring saya tidak habis. Mereka tidak hanya
mendidik untuk bersyukur namun juga menghargai.
“Menghargai itu saat
bisa melihat sesuatu yang hampir bahkan terlupakan oleh banyak orang”
Suatu hari, seseorang berkata pada saya:
“Teruslah berkarya buat Tuhan” dan itu tercuap hingga tiga kali dalam hari yang
berbeda. Lantas, saya berfikir: “Berkarya untuk Tuhan?” “Berkarya?”
Kemudian
saya berdialog dengan Tuhan menanyakan maksud dan seperti apa bentukknya. Lalu,
saya diingatkan dengan sebuah pekerjaan yang sampai sekarang tidak banyak orang
mengerti akan pekerjaan tersebut, meskipun pekerjaan itu sudah ada dari puluhan
bahkan ratusan tahun lalu. Pengertiaan ekstrimnya pekerjaan tersebut tidak
memberikan konstribusi yang ‘waoh’ untuk masa depan.
Saya
mengamati dan mempelajari pekerjaan tersebut juga beberapa pekerjaan yang
‘familiar’. Dan saya dapatkan ini:
Ø Berkarya = “Saya bisa menghasilkan apa?”
Ø Berkaya = “Saya bisa dapatkan apa?”
(Jangan dibalik artinya yaa)
Realita kehidupan sekarang mengatakan, ada
banyak orang mengatasnamakan ‘berkarya’ untuk ‘berkaya’. Inilah yang membuat
mindset kita saat masuk dalam dunia pekerjaan “harus jadi seperti ia, harus
punya ini dan itu”. Terjemahan sederhananya, “Kamu belum sukses kalau tidak
memiliki suatu barang atau menduduki suatu jabatan”. (Miris!)
Kata ‘MENGHASILKAN’ dalam berkarya, bukan
saja bisa menghasilkan uang (bagi yang bekerja), nilai (bagi yang sekolah).
Orang-orang yang berkarya cenderung melakukan pekerjaan tersebut untuk orang
lain. Dalam mindsetnya, saat melakukan pekerjaan tersebut orang lain bisa
merasakan konstribusi apa?
Bandingkan dengan kata ‘MENDAPATKAN’ dalam
berkaya.Mereka cenderung melakukan pekerjaan unuk kepuasan sendiri. Ekstrimnya,
mereka bisa ‘mengorbankan’ orang lain demi mencapai keinginannya. (kejam!)
Melalui pengertian diatas, Tuhan hanya
berpesan pada saya: “Bekerja di belakang layar adalah POTENSI. Jadi kamu tidak
perlu takut. Yang harus dipikirkan kamu sedang berkarya atau berkaya?" Satu hal
lagi, bekerja di belakang layar membuat kita lebih banyak belajar arti hidup
yang sesungguhnya. Salah satu pelajaran yang saya dapatkan menghargai dan
semakin rendah hati.
Bagaimana dengan sahabat-sahabat terkasih,
Berkarya atau berkaya? :D
Sampai disini dulu sekmen cuap-cuap Jessica,
see you next time and God Bless You J