Tentu tidak asing dengan kopaja bukan ? Transportasi umum
berkapasitas 25 tempat duduk ini adalah salah satu kendaraan ‘favorit’
bagi masyarakat Ibukota Indonesia, Jakarta.
Dalam tulisan ini saya akan menceritakan kenyataan-kenyataan yang setiap hari terjadi bersama kopaja.
Nama kopaja kali ini adalah P.16. Sama seperti kopaja-kopaja lainnya, bus ini memiliki warna hijau-putih, beroda 8, alat pengukur kecepatan tidak berfungsi dan alat kemudi seadanya.
Akhir-akhir ini saya sering marah-marah di P.16. Mengapa ? Karena dari sisi pengemudi sungguh tidak bermanusiawi.
Seperti kejadian jumat (10/4) contohnya, Sang Supir membawa kendaraan di luar batas kecepatan, mendekati Walikota bus berhenti dan Sang Supir turun dari bus. Biasa ada supir pengganti setelahnya, ini tidak. Penumpang dibiarkan begitu saja sementara Sang Supir dan kondektur asyik ketawa-ketiwi dengan teman-temannya dan main handphone (sayang saya tidak mengabadikan moment itu). Seluruh penumpang sudah tidak nyaman. Seorang Bapak berteriak dari dalam bus namun tak dihiraukan. Saya tentu geram, lantas turun dari kopaja lalu berteriak memarahi mereka semua. Baru deh ada supir dan kondektur yang menghampiri kopaja kemudian mengajak saya dan teman saya untuk naik kembali. Namun saya dan teman saya memilih tidak kembali dan mencari kendaraan yang lebih nyaman dan aman.
Saya tahu ini bukan kejadian pertama kali dalam dunia “per-kopaja-an” bahkan tahun 2011 kopaja P.16 menghilangkan satu nyawa wanita. Saya pun bukan penumpang yang pertama kali naik kopaja. Melihat kenyataan ini terus-menerus mendorong saya untuk melakukan sesuatu.
Beberapa orang bilang : “Percuma marah-marah. Cape sendiri”. Kalau dipikir sekilas memang percuma tapi dipikir lebih lanjut ada yang salah dari cara mereka bekerja.
Posisi/status
Suatu hari di Kopaja, Sang supir, sebut saja Tukimin dan temannya, Bejo berbincang-bincang :
Tukimin :”Tiap hari begini aje kerjaannya. Dapet duit kaga seberapa”
Bejo :”Iya Bro, kapan suksesnya begini ? Pada enak yang kerja di kantoran”
….
Dunia ini memprogramkan, semakin posisinya di atas berarti orang yang sukses sementara semakin menurun posisinya berarti orang yang tidak sukses bahkan dianggap ‘sampah masyarakat’. Secara tidak langsung pengertian inilah yang diutarakan Tukimin dan Bejo.
***
Sebagai ‘penduduk’ baru dalam dunia pekerjaan, saya banyak belajar arti dari bekerja itu sendiri. Bekerja bukan saja bicara tentang penghasilan, kompensasi, kenyamanan, dan hal-hal lain secara kasat mata. Hal penting dari sebuah pekerjaan atau bekerja adalah alasan, bahasa kerennya visi dan misi. Arti alasan disini bukan secara global, seperti untuk kebutuhan hidup, hangout, atau liburan. Tetapi alasan yang paling murni dari dalam diri kita, yang memiliki nilai tinggi dari alasan secara global.
Status saya tidak sehebat dengan rekan-rekan saya di kantor tetapi lewat pekerjaan inilah saya belajar menemukan visi dan misinya. Alasan itulah yang mendorong saya melakukan pekerjaan ini. Visi dan misi yang saya dapatkan membuat saya belajar tentang jenis-jenis pekerjaan yang ada dunia ini. Saya sering mengamati, merenungkan apa alasan lain dibalik pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Baik, kita balik lagi mengenai si Tukimin dan Bejo.
Secara status Tukimin dan Bejo (hanya) bekerja sebagai supir kopaja. Dunia pun memandang rendah pekerjaan satu ini. Jika dapat menelaah lebih detail, pekerjaan supir bukan pekerjaan haram (pastinya) dan yang lebih mengagumkan adalah mereka berkonstribusi besar kepada orang lain, masyarakat.
Konstribusi apakah yang mereka berikan ?
Setiap hari puluhan nyawa dipercayakan kepada mereka untuk menghantarkan ke tempat tujuannya. (bisa dikatakan) si pemilik nyawa mempercayakan dirinya kepada pengemudi. Percaya, tiba ke tempat tujuan tak kekurangan suatu apapun.
Waoh! Dasyat bukan ?
Secara posisi pekerjaan ini ada tingkat bawah namun secara kapasitas tanggung jawabnya di atas rata-rata. Andai saja si Tukimin, Bejo dan supir-supir kopaja lainnya mendapatkan visi ini (bahkan visi murni lainnya), saya yakin mereka akan bekerja sepenuh hati. Mereka akan berpikir jutaan kali saat mengemudikan kendaraannya.
***
Harapan saya, Tukimi, Bejo, dan semua orang-orang di luar sana, yang masih memandang sebelah mata posisi/status segera menemukan alasan paling murni dari dalam dirinya.
Ingatlah, posisi atau status bukan segalanya.
Pada akhir nanti, Tuhan akan meminta pertanggungjawaban dari apa yang kita kerjakan.
Dalam tulisan ini saya akan menceritakan kenyataan-kenyataan yang setiap hari terjadi bersama kopaja.
Nama kopaja kali ini adalah P.16. Sama seperti kopaja-kopaja lainnya, bus ini memiliki warna hijau-putih, beroda 8, alat pengukur kecepatan tidak berfungsi dan alat kemudi seadanya.
Akhir-akhir ini saya sering marah-marah di P.16. Mengapa ? Karena dari sisi pengemudi sungguh tidak bermanusiawi.
Seperti kejadian jumat (10/4) contohnya, Sang Supir membawa kendaraan di luar batas kecepatan, mendekati Walikota bus berhenti dan Sang Supir turun dari bus. Biasa ada supir pengganti setelahnya, ini tidak. Penumpang dibiarkan begitu saja sementara Sang Supir dan kondektur asyik ketawa-ketiwi dengan teman-temannya dan main handphone (sayang saya tidak mengabadikan moment itu). Seluruh penumpang sudah tidak nyaman. Seorang Bapak berteriak dari dalam bus namun tak dihiraukan. Saya tentu geram, lantas turun dari kopaja lalu berteriak memarahi mereka semua. Baru deh ada supir dan kondektur yang menghampiri kopaja kemudian mengajak saya dan teman saya untuk naik kembali. Namun saya dan teman saya memilih tidak kembali dan mencari kendaraan yang lebih nyaman dan aman.
Saya tahu ini bukan kejadian pertama kali dalam dunia “per-kopaja-an” bahkan tahun 2011 kopaja P.16 menghilangkan satu nyawa wanita. Saya pun bukan penumpang yang pertama kali naik kopaja. Melihat kenyataan ini terus-menerus mendorong saya untuk melakukan sesuatu.
Beberapa orang bilang : “Percuma marah-marah. Cape sendiri”. Kalau dipikir sekilas memang percuma tapi dipikir lebih lanjut ada yang salah dari cara mereka bekerja.
Posisi/status
Suatu hari di Kopaja, Sang supir, sebut saja Tukimin dan temannya, Bejo berbincang-bincang :
Tukimin :”Tiap hari begini aje kerjaannya. Dapet duit kaga seberapa”
Bejo :”Iya Bro, kapan suksesnya begini ? Pada enak yang kerja di kantoran”
….
Dunia ini memprogramkan, semakin posisinya di atas berarti orang yang sukses sementara semakin menurun posisinya berarti orang yang tidak sukses bahkan dianggap ‘sampah masyarakat’. Secara tidak langsung pengertian inilah yang diutarakan Tukimin dan Bejo.
Pekerjaan Anda memang penting, tapi alasan mengapa Anda mengejarkannya jauh lebih penting.
***
Sebagai ‘penduduk’ baru dalam dunia pekerjaan, saya banyak belajar arti dari bekerja itu sendiri. Bekerja bukan saja bicara tentang penghasilan, kompensasi, kenyamanan, dan hal-hal lain secara kasat mata. Hal penting dari sebuah pekerjaan atau bekerja adalah alasan, bahasa kerennya visi dan misi. Arti alasan disini bukan secara global, seperti untuk kebutuhan hidup, hangout, atau liburan. Tetapi alasan yang paling murni dari dalam diri kita, yang memiliki nilai tinggi dari alasan secara global.
Status saya tidak sehebat dengan rekan-rekan saya di kantor tetapi lewat pekerjaan inilah saya belajar menemukan visi dan misinya. Alasan itulah yang mendorong saya melakukan pekerjaan ini. Visi dan misi yang saya dapatkan membuat saya belajar tentang jenis-jenis pekerjaan yang ada dunia ini. Saya sering mengamati, merenungkan apa alasan lain dibalik pekerjaan-pekerjaan tersebut.
Baik, kita balik lagi mengenai si Tukimin dan Bejo.
Secara status Tukimin dan Bejo (hanya) bekerja sebagai supir kopaja. Dunia pun memandang rendah pekerjaan satu ini. Jika dapat menelaah lebih detail, pekerjaan supir bukan pekerjaan haram (pastinya) dan yang lebih mengagumkan adalah mereka berkonstribusi besar kepada orang lain, masyarakat.
Konstribusi apakah yang mereka berikan ?
Setiap hari puluhan nyawa dipercayakan kepada mereka untuk menghantarkan ke tempat tujuannya. (bisa dikatakan) si pemilik nyawa mempercayakan dirinya kepada pengemudi. Percaya, tiba ke tempat tujuan tak kekurangan suatu apapun.
Waoh! Dasyat bukan ?
Secara posisi pekerjaan ini ada tingkat bawah namun secara kapasitas tanggung jawabnya di atas rata-rata. Andai saja si Tukimin, Bejo dan supir-supir kopaja lainnya mendapatkan visi ini (bahkan visi murni lainnya), saya yakin mereka akan bekerja sepenuh hati. Mereka akan berpikir jutaan kali saat mengemudikan kendaraannya.
***
Harapan saya, Tukimi, Bejo, dan semua orang-orang di luar sana, yang masih memandang sebelah mata posisi/status segera menemukan alasan paling murni dari dalam dirinya.
Ingatlah, posisi atau status bukan segalanya.
Pada akhir nanti, Tuhan akan meminta pertanggungjawaban dari apa yang kita kerjakan.
(Jessica Natallia)