Holaaaaaaaaaaaa,,,
Selamat pagi (bagi yang membaca pagi)
Selamat siang (bagi yang membaca siang)
Selamat sore (bagi yang membaca sore)
Selamat malam (bagi yang membaca malam)
Dan…
Selamat tidur (bagi yang membaca mau bobo)
Ahaha :D
Tahun 2014 baru saja memasuki bulan yang kedua, yakni
Februari. Dalam waktu yang relative
muda, goncangan kehidupan sudah menyapa kita bahkan negeri ini. Sekitar tiga pekan,
Ibukota Indonesia, Jakarta, kehadiran tamu yang tidak asing lagi bagi kita
semua, siapakah ia ? Ya,banjir. Ibarat murid di sekolah, banjir adalah murid
yang paling rajin masuk sekolah. Buku absennya selalu bersih. Presentase 100%. Banjir
tidak pernah bosan ‘singgah’ di Ibukota tercinta ini.
Bagi sebagian orang banjir menjadi kesenangan tersendiri,
tapi tidak untuk aku. Banjir selalu membuatku sedih. Mendengar kata ‘banjir’
saja hati sudah pilu, apalagi melihat banjir itu sendiri. Dari banyaknya
episode banjir yang pernah ada dalam hidupku, ada satu episode banjir yang
sangat berkesan, yang baru-baru ini terjadi. Mau tau seperti apa kisahnya ?
Yuck, lanjutkan membaca J
:
Hujan semalaman beserta petir
yang membuat tidur tak nyenyak berhasil melahirkan kumpulan air bernama banjir.
Pagi itu aku harus berangkat ke kantor. Dengan rasa Lemes, panik, sedih, ku melangkahkan
kaki untuk berangkat ke kantor. Belum ada seperempat jalan, kendaraan yang aku
tumpangi tiba-tiba saja mogok. Huh! Lengkap. Seakan-akan ‘jatuh tertimpa tangga’ pula. Sepanjang perjalanan
hati memang gundah gulana, namun di sisi lain hati ini seperti ada yang bilang,
“Ayo, bersyukur Jess”.
“What, bersyukur ??”
“Hellooo, ini keadaan lagi
tegang-tegangnya harus ngucap syukur ??”
Dengan tenang sisi lain hati
kecil itu berkata: “Bersyukur saja”
Pikiran memang buntu, cuma ada
ayo cepat sampai ke tempat tujuan dan mengakhiri ‘penderitaan’ ini. Akhirnya, aku menenangkan diri sejenak lalu
berkata: “Terima kasih Tuhan untuk semua prosesnya”
(meski berat juga bilangnya).
Setelah melalui rintangan-rintangan yang cukup melelahkan, akhirnya aku sampai
ke tempat tujuanku (lega). Ku tegok jam
berwarna hitam di pergelangan tangan kiriku, kata jam itu: “08.10 WIB”.
Tidak percaya, aku perhatikan
lebih seksama lagi…
“08.10 WIB”
Cek jam handphone…
“08.10 WIB”
Kataku:
“Sungguh, jam delapan lewat
sepuluh ? Rasanya tadi panjang banget loch perjuangannya dan aku yakin
membutuhkan waktu yang tidak singkat.”
“Ini lagi gak mimpi kan?”
Secara cepat
pertanyaan-pertanyaan tak percaya datang dipikiranku. Senang sih, tidak telat
bahkan bisa menepati ‘janji’ku sebelum
melakukan kewajibanku. Satu kalimat datang di hatiku: “Selalu ada mujizat
dibalik ucapan syukur”.
Kisah banjir diatas adalah satu
kasus sederhana yang aku alami. Kasus sederhana yang mengajarkanku arti
bersyukur itu apa ? Ibaratnya gini, ada rumah mewah banget tapi sudah lama
tidak berpenghuni, sehingga rumah itu banyak debu, dedaunan jatuh dimana-mana,
pokoknya berantakan deh, gak menarik bahkan menyeramkan. Rumah mewah itu ibarat
hidup kita, dan debu atau dedaunan ibarat masalah, tekanan, pergumulan, atau
sesuatu yang tidak enak. Sadar atau tidak, hidup kita sesungguhnya indah
(bahagia), namun saat sesuatu yang tidak enak hadir, kita jadi lupa dan lebih
berfokus pada ‘debu-debu’ itu. Nah, disinilah yang membuat kita susah untuk
bersyukur.
Sebagaian orang berpendapat,
bahwa tidak ada untungnya bersyukur saat keadaan tidak baik (termasuk saya).
Toh, tetap tidak mengubah apa-apa, masalah tetap saja ada. Kasus sederhana
diatas mengubah pengertian aku tentang bersyukur. Secara alam spiritual, waktu
kita bisa belajar mengucap syukur dikala tidak enak, sebenarnya ada sesuatu
yang sedang Tuhan kerjakan. Seperti mempercepat agar doa-doa kita terkabul. Jam
yang berkata 08.10 WIB menjadi bukti bahwa ada kuasa dalam ucapan syukur. Aku
yakin, situasi banjir yang mengempung jalan dimana-mana sangat minim bisa membawaku
selamat sampai tujuan.
“Bahagia itu sederhana, meskipun harus berlelah-lelahan bersama banjir,
tapi sampai tujuan tanpa kehilangan jari satu pun”
(Jessica)